0

Perempuan Non-Muslim Ini Memutuskan Berhijab


Perempuan Non-Muslim Ini Memutuskan BerhijabAmanda (http://www.hautehijab.com/)
Hijab memang digunakan muslimah untuk menutup aurat. Namun bukan berarti busana itu hanya bisa dikenakan olehkaum perempuan pemeluk Islam saja.
Dream - Hijab memang digunakan muslimah untuk menutup aurat. Namun bukan berarti busana itu hanya bisa dikenakan oleh kaum perempuan pemeluk Islam saja. Sejumlah perempuan non-muslim pun ternyata juga terkesan dengan busana ini.
Lihatlah Amanda. Perempuan asal Amerika Serikat ini juga berhijab. Baju yang dikenakan pun menutup aurat dengan rapat. “Saya adalah perempuan non-muslim Amerika yang memilih berhijab,” tutur Amanda dikutip Haute Hijab.
Amanda tidak sedang coba-coba. Dia juga tak sedang mendalami hidup sebagai muslim. Namun, lulusan diploma Hubungan Internasional Universitas Utah ini benar-benar berketetapan hati, berhijab selamanya.
“Saya telah membuat keputusan seumur hidup hanya menunjukkan wajah dan tangan saja saat di muka umum, dan saya menyukainya,” katanya.
Keputusan itu datang dari pengalaman kecil Amanda. Sejak dulu dia terkagum-kagum pada busana hijab. Namun sayangnya dia terlalu percaya dengan anggapan miring masyarakat di sekitarnya. “Sehingga saya ragu dibuatnya.”
Menginjak remaja, Amanda mendalami sastra Arab. Saat itulah dia berkenalan dnegan teman muslimah. Beberapa di antaranya berhijab. Namun hatinya tak juga bergerak. Dia bahkan berfikir teman-teman muslimahnya itu berada dalam tekanan untuk berhijab.
Pandangan itu mulai berubah saat kuliah. Dia kerap kali mendengar pembicaraan teman pria soal perempuan. Bahkan sering memergoki para pria mencuri-curi pandang. Melihatnya bulat-bulat. Namun dia masih berusaha cuek saja. “Tapi setelah mendengar percakapan mereka, saya tidak bisa berdiam diri saja,” ucap Amanda.
Sejak itu, dia mulai melabrak setiap pria yang melihatnya dengan tak senonoh. Namun pada akhirnya dia sadar. Rasa tidak nyaman itu merupakan masalahnya. “Saya berfikir orang-orang itu punya hak bertindak sekehendaknya dan saya tidak punya hak untuk melarang mereka.”
Suatu saat, Amanda melihat teman muslimahnya yang berhijab. Saat itulah perempuan yang tinggal di Sacramento, California, ini melihat temannya itu tampak anggun. Dalam hati Amanda berkata, “Wow, saya ingin terlihat seperti dia.”
Sejak itulah Amanda mulai mencari informasi soal hijab. Dia juga mencari tahu mengapa para muslimah mengenakan kerudung penutup aurat itu. “Saya melihat video di Youtube, mencari toko hijabonline. Lama-lama saya terpesona, para perempuan berhijab tampak cerah dan elegan. Saya ingin seperti itu dan mulai memimpikannya.”
Namun Amanda masih gamang. Pikirannya masih kalut. Bagaimana tanggapan orang saat dirinya yang non-muslim mengenakan hijab. Dia simpan rapat-rapat niat berhijab itu. Hingga saatnya dia bercerita pada seorang teman.
“Dia mengatakan tidak akan mempermasalahkannya dan bahwa muslim bukanlah satu-satunya kelompok yang mengenakan hijab. Banyak Yahudi dan Nasrani yang juga mengenakannya,” tutur Amanda.
Saat itulah hatinya bulat untuk berhijab. Dan akhirnya dia tahu manfaat menutup tubuh dengan rapat. “Karena hijab, saya paham bahwa tubuh saya adalah hak saya, dan saya berterima kasih kepada muslimah yang memberi tahu saya,” ujar dia.
Eksperimen
Perempuan non-muslim lain yang juga berhijab adalah Anisa Rawhani. Namun perempuan asal Kingston, Kanada, ini sedang eksperimen. Dia ingin mengetahui persepsi masyarakat terhadap kaum minoritas.   
Oleh karena itu, Anisa berhijab selama delapan belas hari ada Januari silam. “Saya melakukan ini karena ingin tahu tentang hijab yang memicu banyak ketegangan di Barat. Saya juga ingin tahu kenapa wanita muslim harus berhijab dan mengapa budaya kita sangat sulit menerima hijab," tutur Anisa dikutip Dream dari islam.ru.

Perempuan Non-Muslim Ini Memutuskan Berhijab
Sumber: Twitter @AnisaRawhani
Mahasiswi Universitas QueenOntario, ini berhijab selama delapan belas hari. Selama itu, dia tak mengurangi aktivitas. Dengan berhijab, dia tetap pergi ke kampus setiap pagi. Menjadi relawan di perpustakaan dan nongkrong di restoran seperti biasa.
“Aku pergi dengan memakai hijab dan orang-orang mulai bersikap manis, mereka menjadi sopan, beberapa orang tua yang kutemui bahkan menjabat tanganku,” kata dia. Respons ini tak pernah dia sangka.
Pada kesempatan lain, Anisa pergi bersama teman-temannya. Dia masih berkerudung ala muslimah. Lagi-lagi, di luar dugaan. Dia merasa diperlakukan teramat sopan. Sampai-sampai dia merasa sulit untuk menjelaskannya.
Di ujung percobaan, Anisa menemukan kesimpulan. Perempuan keturunan Iran itu menemukan banyak kesalahpahaman terhadaphijab. Dia semakin paham tak ada paksaan terhadap muslimah yang berhijab. Namun masih ada rasisme yang menyudutkan.
“Orang, budaya, dan agama, bukanlah konsep yang bisa Anda pahami dengan cara Anda sendiri. Dengan dialog, kita meningkatkan saling pengertian dan saling menghormati sesama,” tutur Rawhani.
Sumber http://www.dream.co.id/

0

Kisah Haru Pria Memeluk Islam 10 Hari Menjelang Ajal

Selama 23 tahun Abdur Raheem gagal mengajak ayahnya, Green, masuk Islam. Namun Green kemudian mengucap Syahadat sepuluh hari sebelum wafat.
Dream - Siang itu hati Abdur Raheem Green berdebar. Benaknya berkecamuk, sibuk menimbang-nimbang. Sambil berpikir, dia terus bergegas. Menuju kamar di sebuah rumah sakit di Kota Kairo, Mesir. Kala itu, warsa 2010.
Begitu membuka pintu, mata Abdur Raheem terpatut pada sosok pria renta. Terkulai di atas dipan, tak berdaya. Dia pandangi tubuh itu lekat-lekat. Itulah Tuan Green, ayahnya. Mantan Direktur Cairo BarclaysBank, bank multinasional yang berpusat di Inggris.
“Saya memandanginya dan berpikir dia bisa saja meninggal malam itu,” kata Abdur Raheem mengenang masa itu. Kala itu Green memang sudah dua tahun sakit. Keadaan inilah yang membawa pendakwah muslim itu jauh-jauh dari Inggris ke Kairo.
Bukan hanya kondisi Green. Debar hati Abdur Raheem itu juga dipicu soal lain. Masalah keyakinan. Sejak memeluk Islam hampir seperempat abad silam, Abdur Raheem selalu mengajak ayahnya jadi mualaf. Namun gagal.
“Saya telah lama memikirkan kapan bisa mengajaknya. Bagaimana mengajaknya? Bagaimana cara yang tepat? Sekarang dia sedang sakit parah, saya tak mau menekannya, membuatnya bertambah sedih,” kata pria kelahiran setengah abad silam itu.
Saat itu Abdur Raheem berpikir, inilah kesempatan terakhir untuk mengulang ajakannya. Pria bernama kecil Anthony Vatswaf GalvinGreen itu tidak akan pernah memaafkan diri jika ayahnya meninggal dan belum memeluk Islam.
Namun hati Abdur Raheem tetap gamang. Dia merasa ayahnya telah menutup hati terhadap Islam. Abdur Raheem benar-benar tak punya harapan. “Sungguh saya merasa takut dia berkata tidak dan menolak ajakan saya,” ucap dia.
Ini sungguh sulit. Abdur Raheem dalam dilema. Sebagai muslim, orangtuanya belum masuk Islam. Namun satu hal yang dia pegang, dia tak mau memaksa. “Kewajiban kita menyampaikan pesan, untuk menjelaskan kepada orang lain dengan cara sebaik yang kita bisa,” ujar Abdur Raheem.
Akhirnya, Abdur Raheem kembali mencoba. Dia dekati Green yang tengah terbaring. “Ayah. Saya punya sesuatu yang sangat penting untuk disampaikan. Apakah Ayah mendengar?” kata Abdur Raheem mengenang pembicaraan dengan ayahnya kala itu.
Namun, ayahnya sudah tak lancar berbicara. Kata demi kata keluar dengan terbata. Oleh sebab itu, Green hanya mengangguk. Dan Abdur Raheem melanjutkan, “Saya punya sesuatu untuk saya katakan, jika tidak saya katakan, saya akan menyesal.”
Berdakwahlah Abdur Raheem di dekat telingan Green. Putra saleh itu bercerita tentang hari akhir dan hari pembalasan. Di ujung cerita, Abdur Raheem mengucap Syahadat.
“Jadi Ayah, ini kunci ke surga. Ini sukses di hari kemudian, bagaimana menurut Ayah?” tanya dia mengakhiri cerita.
Mendengar cerita itu, Green menganggukkan kepala. Abdur Raheem pun kembali bertanya, “Apakah itu artinya Ayah ingin mengucapkan syahadat?”
Dan sang ayah dengan terbata menjawab tanya Abdur Raheem itu. “Ya.” Inilah yang tidak diduga-duga oleh Abdul Raheem. Bahagia pun membuncah di hatinya. Setelah hampir dua puluh lima tahun gagal, kali ini dia berhasil mengajak ayahnya masuk Islam.
Abdur Raheem langsung membimbing sang ayah mengucap syahadat. “Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah.” Dengan lega, Abdul Raheem meninggalkan rumah sakit karena jam besuk sudah habis.
Hari berikutnya, Abdur Raheem kembali datang. Namun dia menjumpai kondisi sang ayah semakin parah. Green tidak bisa mengingat apa-apa. Jangankan mengingat hari kemarin, kejadian sejam lalu saja dia sudah lupa. “Tapi itu bukan akhir segalanya,” tutur Abdur Raheem.
Enam hari setelah masuk Islam, kondisi Green semakin memburuk. Abdur Raheem yang masih di rumah sakit mendengar ayahnya merintih. “Tolong, tolong saya,” kata Abdur Raheem menirukan ayahnya.
Dia pun kemudian bertanya, “Ayah, Ayah ingin saya melakukan apa?”.
“Saya tidak tahu,” jawab Green. “Ajarkan saya sesuatu yang mudah dilakukan,” tambah dia dengan terbata.
Lantas, Abdur Raheem ingat syahadat. Kalimat yang ringan di lidah namun punya efek luar biasa. “Sehingga saya berkata, jika saya menjadi Ayah, saya akan terus mengulang syahadat,” kata Abdur Raheem.
Mendengar itu, Green pun menjawab, “Ya, itu yang ingin saya lakukan.” Setelah itu, bapak dan anak itu bersama-sama mengucap syahadat selama satu setengah jam.
Sesudah berhasil mengajak ayahnya masuk Islam, Abdur Raheem pulang ke Inggris. Ada urusan yang harus diselesaikan. “Dan kemudian saya mendengar ayah meninggal,” kata Abdur Raheem.
Ya, Green yang telah menolak Islam selama hampir seperempat abad itu telah meninggal. Satu hal yang disyukuri Abdur Raheem, ayahnya bersyahadat sepuluh hari sebelum datang ajalnya.
“Kematian ayah saya ingin saya ceritakan kepada Anda, dan intinya, sepuluh hari sebelum dia meninggal, dia mendapat rahmat mengucapkan Syahadat,” tutur Abdur Raheem.
Sumber http://www.dream.co.id/